Waktu masih menunjukkan pukul tujuh ketika Raven mengucek mata sembari menarik ponselnya yang tersimpan di bawah bantal. Lelaki bermata belok itu hanya duduk di ranjang tanpa ingin beranjak. Matanya yang semula buram seketika menjadi sangat berbinar. Ditatapnya saksama layar yang memampangkan posting-an foto bersamanya di Barriecito.
“Oh Tuhan! Nggak nyangka banget bakal seantusias ini reaksi mereka,” gumamnya sambil cekikikan. Hatinya yang sedang berbunga-bunga bahkan sampai menutup pandangannya terhadap kehadiran Alifa.
“Mas, nanti kamu ada acara, kan, di SMK Nurul Himmah?” Alifa berdiri di hadapan suaminya, tapi Raven tidak menggubris. “Mas, ini sudah jam tujuh, kamu harus segera mandi dan sarapan! Aku sudah siapkan nasi goreng dan telur dadar untuk kamu,” lanjutnya, berusaha menyadarkan suaminya yang sedang hanyut oleh sosial media.
“Eh, Lif! Coba kamu lihat ini! Aku nggak nyangka kalau kehadiranmu semalam ternyata berdampak besar untuk menaikkan pamorku.” Bukannya merespons perkataan istrinya, Raven malah menyodorkan ponselnya kepada Alifa.
“Astaga, Mas! Kamu dari tadi nggak nganggep kedatanganku cuma gara-gara posting-an banjir like dan komentar netizen?” Alifa merasa dongkol. Bukan apa-apa, hanya saja yang Raven lakukan sepagi itu adalah hal yang sama sekali tidak penting.
“Asal saja kalau bicara! Ini tuh sebuah pencapaian, Lif! Sekarang follower aku meningkat, begitu juga dengan jumlah like dan komentarnya. Selama aku jadi motivator, baru ini unggahanku yang banjir perhatian.” Raven menatap Alifa sambil menggeleng keheranan.
“Ya aku tahu, Mas. Tapi bisa kan, kalau bangun tidur itu nggak meriksa ponsel dulu?”
“Halah! Kamu bilang begitu gara-gara nggak terima ada yang komen buruk tentangmu toh? Lah, itu kenyatan, Lif. Kamu memang gendutan sekarang,” ejek Raven sembari beranjak keluar. “Eh tunggu, aku lupa bilang kalau kamu itu seharusnya bersyukur nikah sama aku!”
“Mas, kamu itu!” Alifa meremas wajahnya. Dia tidak dapat berbicara lagi, tenggorokannya seperti tertusuk belasan duri ikan. Apa kabar dengan hatinya? Alifa hanya mengelus dada sembari membendung genangan kecil pada pulupuk mata.
Bisakah dia kembali bersabar? Dan jawabannya adalah ‘iya’. Mau tidak mau Alifa harus selalu mengalah karena dia punya tujuan tersendiri. Meskipun, kepahitan lebih sering mencekiknya. Dia hanya berpikir jika fase seperti itu memang akan ada dalam rumah tangga.
Alifa mendesah, mungkin situasi akan lebih buruk dari apa yang dipikirkannya. Firasatnya tidak pernah salah, intuisi seorang wanita yang melankolis jarang meleset.
“Mbaaaak! Kenapa kuning telur ini pecah dan nggak bisa bulat kayak posting-an para Foodies, sih?”
Good job! Belum juga firasat itu hilang dari benak Alifa, sekarang Nevana sudah memulai kegaduhan. Sungguh kombinasi menyebalkan untuk memulai hari.
“Iya, Neva! Maafin Mbak, ya! Foodies, kan, biasanya dimasakin sama chef, jadi hasilnya bakal bagus,” terang Alifa. Dia tergopoh menuju ruang makan. “Mau coba Mbak buatkan yang baru?” tanyanya lirih. Alifa tahu, situasi seperti sekarang sangat dibenci oleh adiknya. Nevana paling tidak suka jika keinginannya tidak terealisasi. Namun, itu bukan murni kesalahannya, kan? Alifa sudah berusaha membuatkan telur ceplok dari sebelum subuh. Meskipun, hasilnya masih tetap sama.
“Alifa! Kamu ini bisa nggak sih, jangan menciptakan sumber keributan kalau pagi? Tadi gangguin aku, sekarang lihat! Adikmu sendiri jadi nggak nafsu makan gara-gara kamu nggak becus bikin telur ceplok!”
“Aku males sarapan, Mbak!”
“Neva, biar Mbak pesankan dulu pakai Goprek, ya?” tawar Alifa sebelum Nevana meninggalkan meja.
“Nggak usah, Mbak! Kamu makan aja itu telurnya, Neva kenyang,” sungutnya. Kemudian, gadis bermata sipit itu menutup pintu kamarnya dengan cepat dan kuat.
“Kamu itu bisa apa lagi sih, selain nulis hal nggak penting?” Raven menyipitkan tatapannya terhadap Alifa.
Kini Alifa merasa semakin tidak berguna. Ketidakmampuannya menjawab pertanyaan Raven sudah cukup menunjukkan jika dia hanya seonggok daging hidup yang tidak becus mengurus keluarga. Padahal, hati kecilnya masih yakin bahwa dia lebih dari sekadar layak untuk dihargai dan dihormati, sekalipun dia memiliki kekurangan.
“Sudahlah! Mungkin kamu itu terlalu cupu atau lebih tepatnya kurang pergaulan. Ditanya cuma bisa diam, kerjain apa-apa nggak pernah bener. Sumpah dongkol aku, Lif!”
“Dongkol kenapa lagi, Mas? Nasi goreng dan telur dadar untukmu sudah enak, kan?” tanya Alifa, meminta kejelasan.
“Memang sih, tapi kamu sudah bikin Nevana nggak nafsu makan!” Raven membanting sendoknya di meja. Kemudian, dia berlalu begitu saja.
Alifa menggigit bibir bawahnya untuk menahan kegetiran ketika suaminya lagi-lagi bersikap keras. Sekarang, bibirnya bahkan lebih terasa perih dibandingkan perasaannya. Meskipun begitu, dia pasti akan baik-baik saja setelahnya.
“Tapi, kenapa Mas Raven ikut-ikutan marah? Aku, kan, nggak ada salah sama dia,” gerutunya polos.
Alifa tidak mau terlalu memikirkanya karena merasa itu akan sia-sia. Lebih baik segera membereskan meja makan, lalu bekerja. Ya, itu lebih baik daripada membuang-buang waktu untuk merenungi ucapan Raven. Setidaknya, menulis akan membantunya mengikis rasa tidak berguna yang menyumpal pikiran.
Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Harus Punya Novel Ada Hati yang Terluka