Bab 2
Kuntilanak
Dengkang katak menemani kami saat berada di Jalan Robusta. Entah mengapa sportbike Mas Galih tidak bisa distarter. Padahal, dia menjamin bahwa bensin dalam keadaan penuh sebelum menjemputku, itu berarti permasalahannya bukan pada bahan bakar.
Mas Galih juga rajin melakukan perawatan mesin, jadi jelas bukan itu pula penyebabnya. Tidak ada satu pun kendaraan yang melintas, sedangkan biasanya jalanan tidak pernah lengang seperti malam ini. Sial! Kami bahkan harus berjalan kaki jika ingin sampai ke Jalan Klorofil. Bagaimanapun caranya, aku tetap harus memeriksa keadaan di sana dan membuktikan apakah penampakan anak-anak bermata hitam itu benar adanya.
“Kita pesan ojek online saja, ya, Ra? Terus balik. Motornya biar orang bengkelnya Fallen yang ambil,” ujar Mas Galih.
“Mas Galih mau pulang duluan?” tanyaku ragu-ragu.
Aku harus mendongak untuk menatap wajah Mas Galih karena tinggi kami selisih 35 sentimeter. Pelipisnya tampak basah, dadanya juga naik turun dengan tempo yang lumayan cepat. Sepertinya dia benar-benar ketakutan.
“Apa sanggup kalau kita harus jalan ke sana?” Mas Galih menunjuk plang besar yang berada kurang lebih sepuluh meter dari tempat kami berdiri.
“Tujuan pertama kita kan, memang ke Jalan Klorofil, Mas,” jawabku sambil meremas lengannya, lalu meraih jemarinya yang mulai terasa dingin. “Mas baik-baik aja, ‘kan?” imbuhku, pura-pura buta pada keadaannya.
“Aku nggak apa-apa. Ya sudah kita ke sana.” Mas Galih berjalan pelan sambil mengusap wajah. Dia menggandengku walaupun sepertinya tidak cukup banyak keberanian dalam dirinya.
“Mas, ada Ara di sini. Jangan takut!” Aku menatapnya sambil tersenyum. Kemudian, kami benar-benar melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. “Mas Galih percaya kalau di Jalan Klorofil sering ada penampakan anak bermata hitam?”
“Nggak tau mau percaya atau nggak. Yang tadi aja udah bikin jantungku hampir copot,” keluhnya.
Semakin jauh kami berjalan, genggaman Mas Galih terasa semakin kuat. “Mas, bisa sedikit longgarin genggamannya nggak?” tanyaku lirih agar tidak menyinggung perasaannya.
“Maaf, Ra. Aku beneran baru pertama lihat kunti—”
“Stop!” Aku langsung menyelang sebelum dia melanjutkan perkataan.
“Ke-kenapa?”
“Kalau Mas Galih takut, ya, jangan dibahas. Udah diem aja sambil baca doa.” Aku terkekeh, lalu mengayunkan tangan kami yang sedang bergenggaman. “Udaranya segar, ya, Mas. Jarang-jarang loh bisa sepi kayak begini.” Aku memang sedang berusaha mengalihkan pikiran Mas Galih supaya dia tidak terlalu tertekan.
“Iya deh aku diem aja,” jawabnya, lalu kami sama-sama diam untuk menenangkan pikiran masing-masing.
Setelah belasan menit berjalan, kami akhirnya sampai di samping plang besar berwarna hijau tua yang tadi Mas Galih tunjuk. Dan aku sama sekali tidak merasakan aura negatif di sini. Alih-alih berbalik arah aku malah mengajak Mas Galih untuk terus berjalan. Lelaki tinggi yang berada di sisiku ini sama sekali tidak berani menoleh, tatapannya datar dan lurus, dia memang penakut. Meskipun begitu tetap saja dia masih mau memiliki hubungan denganku.
“Nggak ada apa-apa kok, Mas,” ucapku kemudian, setelah kami berjalan cukup jauh.
“Kalau gitu kita langsung balik?” tanyanya cepat, lalu menarik napas panjang.
Aku mengangguk dan mencubit pinggangnya. “Mau lari aja biar cepet?” tawarku. Kemudian, dia mengangguk dan kami pun langsung berlari tanpa melepaskan genggaman.
Aku perlu berterima kasih kepadanya untuk malam ini. Setidaknya aku merasa puas telah membuktikan keyakinanku sore tadi. Tidak ada sosok anak-anak bermata hitam di Jalan Klorofil, kecuali perempuan berambut panjang yang hampir sebagian dari wajahnya terkoyak.
“Akhirnya setelah lari-larian kita sampai di sini.” Suara Mas Galih memecahkan lamunanku. Ah, aku terlalu serius memikirkan isu yang beredar di Kompleks Battambang sampai-sampai tidak sadar jika kami sudah berada di dekat motor.
“Memangnya sudah bisa distarter, Mas?”
Setelah Mas Galih mengerem secara mendadak, motor yang kami kendarai ini memang tidak bisa distarter. Namun, belum sempat Mas Galih menjawab, tiba-tiba saja deru motornya kembali terdengar.
“Alhamdulillah, bisa, Ra!” ucapnya girang dengan napas sedikit memburu. Kemudian, dia memintaku untuk naik di jok belakang dengan buru-buru. Setelah posisi dudukku pas, dia pun menancap gas dengan kecepatan penuh. Aku sampai harus memeluknya dengan erat agar tidak jatuh terdorong angin. Baru kali ini aku dibonceng ngebut oleh Mas Galih. Namun, aku tidak melakukan protes karena merasa bertanggung jawab atas ketakutan yang dirasakannya malam ini.
Baca Sebelumnya: Download dan Baca Gratis Novel Milna and Me di Sini
*****
Pintu rumah masih terbuka pada saat aku dan Mas Galih sampai. Pos ronda juga ramai, tidak seperti biasanya.
“Ada apa, Bu? Kok, tumben jam setengah sepuluh masih buka pintu? Terus kenapa di pos ronda itu ramai?” tanyaku pada Ibu yang kebetulan masih duduk di selasar rumah.
“Tadi Pak RT bilang, katanya ada penampakan anak-anak kecil bermata hitam di rumahnya,” jawab Ayah yang baru saja keluar sambil membawa mug berukuran jumbo bermotif batik. “Makanya Bapak-bapak kompleks jaga malam, supaya kalau ada apa-apa bisa lagsung didatangi bareng,” lanjutnya.
“Anak-anak? Berarti nggak cuma satu dong, Yah?”
“Mana Ayah tau. Udah, sana kamu dan Ibu masuk. Biar Galih Ayah ajakin ke pos ronda dulu. Kamu mau kan, Lih?”
“I-iya nggak apa-apa, Yah,” jawab Mas Galih terbata-bata.
Aku menepuk-nepuk lengannya, lalu tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. “Santai, Mas. Kalau rame gini pasti aman, kok!”
Mas Galih tidak menjawab apa pun selain kembali menarik napas panjang. Aku mengerti Mas Galih pasti sangat lelah setelah seharian bekerja. Apalagi, tadi juga kami sempat berlari sejauh sepuluh meter. Bukan jarak tempuh yang dekat, tetapi kami lakukan itu untuk mempersingkat waktu agar tidak terlalu lama berada di jalanan lengang yang seram itu.
“Bu, Ara masih nggak percaya soal isu penampakan anak-anak bermata hitam itu. Ara nggak menemukan keganjilan apa pun tuh pas lewat di Jalan Klorofil. Yang ada sih, Ara dan Mas Galih ketemu kuntilanak,” ungkapku sambil menurunkan poni yang sejak tadi kusiksa dengan jepitan rambut.
“Mungkin karena mereka ke sini makanya nggak ada di jalanan,” tukas Ibu. “Bagusan poninya dijepit kayak tadi, Ra, supaya matamu itu kelihatan. Jangan kayak setan, setiap hari poninya nggak pernah dipinggirin dari mata!” Nada bicara Ibu terdengar sedikit kesal. Namun, aku tidak menggubris dan memilih untuk meninggalkannya.
“Ara ke kamar dulu, Bu. Kalau calon menantunya mau pulangjangan lupa disuruh hati-hati, Bu!” pintaku sambil tersenyum samar, lalu segera beranjak menuju kamar.
“Eh, tunggu dulu!”
Spontan aku menoleh. “Kenapa, Bu?”
“Kamu tadi ketemu kuntilanak? Makanya jangan pecicilan! Kamu nggak takut kalau dibuntutin setan lagi?” tanya Ibu dengan suara nyaring.
“Iya, Bu, maaf. Besok-besok nggak diulangin, deh,” rayuku, berharap Ibu tidak jadi marah.
“Kalau gitu kamu di sini saja temani Ibu sampai Ayah pulang!”
“Eh, nggak boleh ke kamar?” tanyaku memastikan. “Ya sudah, Ara temani Ibu nonton sinetron,” sambungku, lalu menyusul Ibu yang sudah lebih dulu masuk dan duduk di sofa.
Ternyata Ibu ketakutan setelah mendengarkan pernyataanku tadi. Memang benar aku dan Mas Galih bertemu dengan kuntilanak. Penampakan perempuan berpakaian lusuh itu di luar dugaan. Aku tidak memprakirakan jika akan bertemu dengan sosok menyeramkan sepertinya karena sejak awal aku pergi, yang ada dalam pikiran hanyalah sosok anak kecil yang memiliki mata berwarna hitam pekat.
Kenyataannya malah sosok kuntilanak itulah yang kami temui. Dialah makhluk yang membuat Mas Galih terkejut hingga menghentikan laju motor yang kami kendarai secara mendadak. Awalnya aku tidak tanggap terhadap penjelasan Mas Galih yang mengatakan bahwa dia melihat sesuatu yang melintas. Sampai pada akhirnya Mas Galih menatap kosong ke arah belakangku, lalu dia mendekapku sambil gemetar. Pada saat itulah perlahan aku merasakan hawa dingin yang dibarengi dengan sentuhan kasar pada punggung. Rasanya seperti digerayangi kuku-kuku tajam. Karena penasaran, aku melepaskan dekapan Mas Galih sembari menoleh ke belakang.
Agak aneh sebenarnya, karena tidak ada apa pun yang kulihat ketika menoleh. Kemudian, saat aku kembali menatap wajah Mas Galih yang sudah pucat, tiba-tiba saja pandanganku teralihkan. Ada sosok perempuan yang berdiri di balik punggung kekasihku itu.
Perempuan berpakain putih cantung itu menyeringai sambil menelengkan kepalanya. Kemudian, dia memainkan anak rambutnya menggunakan jemari yang berwarna hitam legam. Sekitar dua menit kemudian, dia tertawa cekikikan sambil menggerayangi lengan Mas Galih menggunakan kuku-kukunya yang panjang. Terlihat beberapa belatung melompat dari serat daging yang tersisa pada tulang pipinya, lalu hewan melata itu bergerak-gerak lincah di atas sepatu pantofel Mas Galih.
Baca Juga: Fakta Terbaru Novel Milna and Me yang Diambil dari Kisah Nyata!
Lelaki berperawakan kurus itu hampir saja kehilangan kesadaran, tetapi aku memberinya isyarat untuk tetap kuat. Aroma busuk menguar pada saat angin berembus dengan kencang, kami seperti sedang kencan dengan setan. Perempuan yang sebagian wajahnya terkoyak itu tidak juga pergi walaupun kami tidak memberikan respons kepadanya. Dia malah semakin menjadi-jadi dengan menggosokkan rambutnya yang kumal—akibat darah yang mengering, pada lengan Mas Galih.
Pada menit berikutnya, perempuan itu beranjak dari belakang tubuh Mas Galih, lalu berpindah di atas motor dalam hitungan detik. Dia menatapku tajam sambil menampakkan baris giginya yang runcing dan tidak rata itu.
Kemudian, dia membuka mulut lebar-lebar hingga serat-serat daging berwarna merah pekat di dalamnya terlihat sangat jelas. Pada saat itulah aku berkesempatan untuk meneriakinya. Dengan kekuatan yang tersisa, aku membaca taawuz sambil mengarahkan telapak tangan kananku di hadapan wajahnya. Awalnya kupikir dia akan semakin marah dan menyerang kami, tetapi ternyata kami masih dilindungi, kuntilanak itu pergi setelah aku selesai membacakan Ayat Kursi.
Baca Juga: Spesial Order Masih Berlaku! Cek Harga Hemat dan Bonusnya
Penulis: Keza Felice
Foto by: Keza Felice |
Contoh bonus tambahan paket Queen Set yang dikirim langsung dari penulis + Tanda Tangan asli |
Novel + Sendok Set + Potongan Kuku + Pouch HYDRA + Pouch Traveling + Tanda Tangan + Surat + Quotes + Pulpen |
Contoh Paket yang Dikirim untuk Pembeli Novel dari Penulis Langsung |
Akulah anak kecil mata hitam pekat, mana Ara aku mau memakan si Ara.. 🤣🤣
BalasHapusAra punya poni? aku jadi terbayang Gea si penyanyi, tapi penyanyi bernama Gea mungkin ada lebih dari satu orang 😅
Kkewkw manada hantu makan manusia🤣
HapusIya punya poni dungs, biar keren.
Kwkwkw lah iya, Gea kan banyak🤣
Galih kok penakut, gimana kalo mas galih di suruh berguru dulu sama ustad satria.😂
BalasHapusJadi nyarinya anak bermata hitam malah ketemunya sama mbak tabin eh mbak kukun ya.😆
kwkwkw yang ada malah makin takut. Liat gurunya aja udah kabur duluan kwkwkkw.
Hapusbhahaa nakaja, aku mah cyantiq lah..
mbak kunkunnya ngefans sama Galih