BAB 1
Tanda Tanya
Tentang
kenyataan bahwa aku berbeda dari teman-teman seusiaku, aku merasa tidak
apa-apa.
Ada
beberapa orang yang juga sama sepertiku, tetapi mereka tetap bisa menjalani
hari-harinya dengan biasa-biasa saja. Nurita, misalnya. Dia tetap berprestasi
di asrama—menjadi juara kelas, meskipun hidupnya sering juga terusik.
Menurutku, menjadi berbeda bukan satu alasan untuk tidak hidup, atau hidup tapi
seperti mati. Suka menyendiri.
Hanya
saja, menjadi berbeda butuh tenaga lebih banyak untuk terlihat kuat dan
baik-baik saja. Misalnya, saat kamu jatuh dari tangga di depan banyak orang,
mau tidak mau kamu harus tetap tersenyum kan, meskipun saat itu sedang
kesakitan.
Seperti
sekarang.
Tahun
ajaran baru sudah dimulai. Itu, tandanya akan ada banyak wajah baru yang
terlihat. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang saling bergantian parkir di
depan gerbang. Koper-koper besar yang isinya pakaian dan beberapa bungkus
makanan ringan untuk cemilan. Atau isak tangis yang saling bersahutan karena
mereka tidak mau ditinggalkan orang tuanya untuk hidup di asrama. Begitulah
yang terjadi—bersikap masa bodoh lebih baik.
Sudah
tiga tahun aku tinggal di asrama ini, tetapi kehidupanku berjalan biasa-biasa saja. Aku normal. Ya,
barangkali ada yang menganggapku tidak normal seperti yang diperbincangkan
banyak orang, yah, yang sedikit mengusik pendengaranku tentunya.
Mereka
bilang, aku ini punya mata batin. Padahal, enggak. Namun, aku saja tidak
percaya dengan ke-enggak-an yang aku yakini. Sebab setelah masa tiga tahunku
berlalu, aku sering mengalami hal-hal aneh. Seperti dibangunkan untuk
menjalankan salat, dicubit kakinya supaya bangun tengah malam, atau terkadang
juga diseret beberapa sentimeter dari tempatku tidur supaya bangun lebih pagi.
“Mbak, kamu tuh ada yang ngikutin lho ….”
Satu kalimat singkat yang menurutku sudah sangat jelas makna dibaliknya.
Qonitta Syafira, gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang indigo—yang
baru saja mendaftar ke asrama, mengatakannya saat berpapasan denganku.
Dari
perkataannya, aku jadi ingin tahu lebih banyak lagi tentang diriku, dengan menanyakan
siapa yang mengikutiku, misalnya. Atau, sejak kapan aku diikuti? Dan masih
banyak lagi. Sayangnya, dia memutuskan untuk tidak jadi tinggal setelah survei
beberapa kamar di asrama, entah dengan alasan apa.
Hari
itu, akhirnya menjadi hari di mana aku merasa lebih waspada dari siapa pun.
Padahal aku sudah sering melihat makhluk tak kasatmata sejak kecil.
Asrama Hagers. Sebuah bangunan berlantai tiga,
berdiri di atas tanah bekas pembuangan janin dari wanita pekerja seks komersial
yang kebobolan saat melayani Om-om penyewa. Bangunan asrama yang konon
didirikan oleh seorang wanita, yang ingin menjadikan tanah pembuangan ini
sebagai tempat yang lebih berguna dibandingkan hanya digunakan sebagai tempat
pembuangan makhluk tak berdosa dan tempat berlangsungnya prostitusi.
Inggarwati,
seorang nenek berkulit keriput dengan sorot mata layu. Dialah yang mendirikan
asrama ini belasan tahun yang lalu. Saat ini, tidak ada yang ia kerjakan selain
duduk pada kursi roda, didorong oleh seorang pengasuh lansia, Mbak Rara.
Seorang nenek yang sering menatapku—seperti ada yang aneh pada diriku, tetapi
aku tidak peduli.
“Aletta
Rasya, kamu dipanggil sama Rara tuh, suruh nemuin Eyang!” Nurita menepuk
bahuku, membangunkanku dari lamunan.
Aku
mengangguk, kemudian menurunkan kedua kaki yang kusandarkan pada tumpukan
kasur. “Hati-hati, horor tuh,” kejar Nurita saat aku baru saja akan
melangkahkan kaki. Aku tidak heran dengan sikap Nurita, sesama orang yang
dibilang ‘aneh’ kami memang selalu berbagi pengalaman satu sama lain. Dan,
salah satu kebiasaannya adalah menyebutkan namaku secara lengkap.
Mbak
Rara masih berada di belakang kursi roda Eyang Inggarwati. Ia masih sibuk
menyisir rambut wanita sepuh itu yang sudah memutih. Bibirnya berkomat kamit,
sepertinya mereka sedang membahas satu topik percakapan yang seru. Aku berjalan
santai, membawa sebuah buku cerita dalam tangan untuk menyembunyikan nervous. Mendekati mereka berdua,
rasanya sama seperti dihadapkan dengan perampok, menegangkan.
“Aletta,
udah sampai kamu?” Eyang Inggar melirik ke arahku.
“Sudah,
Eyang,” jawabku singkat, sambil menundukkan pandangan.
Aku
memang baru saja sampai di belakangnya, tentu Mbak Rara juga belum sempat
mengetahuinya. Namun, Eyang Inggar tahu lebih dulu kalau aku sudah tiba. Aneh, kan?
Memang begitulah keadaannya saat bertemu dengan mereka.
“Hmmm
… duduklah,Cah Ayu!” seru Eyang,
menatapku dengan senyum semringah.
“Nduk Rara, tolong bikinkan teh hangat
dulu untuk Aletta!” lanjutnya sambil mempersilakanku duduk di hadapannya.
Rasanya
sangat aneh ketika berada di hadapan Eyang. Jarang sekali ada siswi yang
dipanggil olehnya, apalagi dibuatkan teh. Seperti
tamu agung saja. Aku mengulum senyuman, mencoba menetralisir perasaan
curiga dan ketakutanku.
Aku
masih menunggu Mbak Rara. Tentu saja, dia kan, lagi bikin teh untukku.
Sebenarnya bukan teh-nya sih yang aku butuhkan, tetapi Mbak Rara—penginnya
ditemani ngobrol. Sayangnya, dia enggak juga datang, entah apa yang sebenarnya
sudah direncanakan olehnya dan Eyang. Mungkin ‘teh’ hanya menjadi isyarat agar
Mbak Rara meninggalkan kami berdua saja.
Aku
tahu, banyak mata yang melihat ke arah kami sekarang. Aku bisa melihatnya dari
bayangan yang ada di jendela kaca di seberangku. Rumah Eyang memang dikelilingi
dengan kaca. Bangunannya lumayan kecil jika dibandingkan dengan bangunan
asrama, tapi bukan berarti sempit. Dan sekarang, aku sedang duduk di selasar
rumah kecil Eyang. Berhadapan langsung dengan empunya rumah. Menunggu seduhan
teh yang tidak kunjung datang.
Orang-orang
di sana, termasuk Nurita, pasti sedang was-was. Biasanya Eyang hanya memanggil
siswi-siswi yang bermasalah, itu pun sangat jarang. Aku tahu, yang mereka
pikirkan mungkin sama dengan yang sedang bergentayangan dalam benakku. Untuk apa aku dipanggil? Ya, setidaknya
aku sedang duduk di sini, di depan wanita sepuh
pendiri asrama yang kutempati untuk menunggu jawaban darinya.
*****
Satu jam kemudian, sepertinya Nurita sudah siap untuk mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan.
Mereka semua sudah menungguku di dalam kamar. Ya, siapa lagi kalau bukan Nurita yang menjadi pelopornya. Sahabatku yang satu itu memang selalu punya kebiasaan unik, termasuk sekarang ini. Dia berdiri di tengah-tengah kerumunan teman yang lainnya. Menatapku dengan mata sipitnya, yang meski dipaksa berjam-jam lamanya tidak akan pernah berubah menjadi tatapan yang lebar dan tajam.
“Eyang Inggar ngomong apaan sih, Lett?” Nurita mulai membuka konferensi pers-nya.
“Tunggu! Jangan-jangan kamu dikeluarin dari asrama, ya?” cecar Feira menduga-duga.
“Hush, jangan bicara sembarangan. Biarkan Aletta yang menceritakannya.” Keren membungkam mulut Feira yang baru saja akan kembali terbuka menggunakan tangan kirinya.
“Jorok, tangan buat cebok juga nih ….”
Kini semuanya jadi menatapku. Keren memang benar, lebih baik mendengarkan penjelaskanku lebih dulu ketimbang menduga-duga jawabannya sendiri. Namun, akan menjadi mimpi buruk jika aku menceritakan yang sesungguhnya kepada mereka. Bisa dipastikan, dalam waktu satu minggu ceritaku ini pasti akan menyebar ke seluruh penjuru asrama. Apalagi, yang kudapati hanya kalimat teka-teki.
“Kalian mau tahu banget, ya? Boleh … tapi aku enggak bisa cerita sekarang,” jawabku menengahi keributan yang mereka buat.
Baca Juga: Baca Gratis Novel Milna and Me Tanpa Koin!
“Kenapa, Lett? Bener-bener masalah yang serius?” Feira menyambung. Gadis itu punya tingkat penasaran yang sangat tinggi. Dan untuk lolos dari pertanyaan-pertanyaannya itu, aku membutuhkan bantuan dari Nurita.
“Ya sudah, sana kalian balik ke kamar masing-masing! Biar aku yang nemenin Aletta,” sambung Nurita sambil tersenyum licik, setelah kukedipkan mata padanya.
Mereka mencoba mengerti keadaanku setelah mendengarkan instruksi Nurita. Sekarang hanya tersisa kami berdua di dalam kamar. Nurita memang sangat bisa mengatur suasana menjadi lebih baik, termasuk membuat mereka membubarkan diri, meski dengan wajah bertekuk.
“Nanti aku bagi ceritanya, kok,” ucap Nurita setengah berteriak. Ia terkekeh, merasa menang karena berhasil menguasai situasi.
Hening beberapa saat. Suasana kamarku menjadi benar-benar sepi setelah mereka kembali ke kamar masing-masing. Entah persepsi apa yang sedang mereka bawa dalam pikirannya masing-masing. Yang jelas aku sedang tidak tertarik untuk memikirkan apa yang sedang mereka coba pikirkan sekarang.
Di hadapanku, Nurita sedang melihatku dengan tatapan berisi penuh tanda tanya. Namun, wajahnya terlihat sedang menahan rasa tak enak padaku. Aku tahu apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Dia ingin mencoba menenangkanku, tetapi masalahnya adalah, dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padaku. Dan sayangnya, aku terlanjur tahu keinginannya itu.
“Aku baik-baik aja, Rit,” ucapku mencoba menyembunyikan kecemasan.
“Aku tahu kamu banget, Lett. Selama ini kita kan, udah saling tahu... jadi kenapa mesti ditutup-tutupi?” jawabnya lirih sambil mengelus bahuku.
Nurita benar, kami memang sudah sepakat untuk saling berbagi suka atau pun duka. Dan kupikir, menceritakan hal ini padanya bukanlah sesuatu yang salah.
“Eyang Inggar bilang ...,” kataku lirih. “Ada sosok yang menginginkanku.”
“Maksudnya?” Nurita mendelik mendengar ucapanku. Dia menggenggam tanganku, mencoba membuatku lebih tenang meski dirinya sendiri sama sekali tidak tenang.
“Aku enggak tahu, satu jam aku di sana cuma kalimat itu yang Eyang katakan,” jelasku. Mataku mulai berkaca-kaca. Perasaanku sedang campur aduk sekarang. Panik dan ingin marah. Sampai tidak tahu perasaan yang mana dulu yang harus kuekspresikan di hadapan Nurita. Padahal kalimat itu tidak mengintimidasi, tetapi perasaanku malah galau dibuatnya.
“Lett, kamu enggak mau pulang kampung aja?”
“Enggak ada hubungannya, Rit.” Aku tahu alasan Nurita menanyakan hal itu padaku. Ya, perasaanku memang sedang tidak karuan setelah bertemu Eyang Inggar satu jam yang lalu. Dan sayangnya, jawaban dari Eyang sama sekali tidak bisa kutafsirkan sendiri, pun dengan Nurita.
Aku menghela napas panjang lalu membaringkan tubuh ini di atas tumpukan kasur busa, di pojok kamar. Kami memang biasa menumpuknya di sana agar saat siang, kamar kami bisa terlihat sedikit lebih rapi. Ternyata itu sangat berguna. Aku bisa melemparkan tubuhku ini di atasnya kapan pun aku mau tanpa khawatir akan terjatuh atau terpental ke lantai. “Lumayan empuk,” gumamku.
Nurita hanya membalasnya dengan senyuman. Aku memang sedang mencoba untuk mencairkan suasana. Namun, sepertinya itu tidak berhasil. Senyum Nurita yang bilang padaku. Senyuman gadis itu selalu jujur. Seperti yang barusan, dia cuma mengangkat satu sudut bibir atasnya sambil melirikku, garing.
Baca Juga: Baca Novel Gratis Tanpa Koin "Ada Hati yang Terluka"
Aku masih tidak habis pikir kenapa Eyang mengatakannya padaku. Lebih tepatnya, mengapa beliau tidak menjelaskan maksud perkataannya itu. Ada sosok yang menginginkanku. Pikiranku masih dipenuhi kemelut soal perkataannya itu.
Kata orang, kalau ada teka-teki yang dikait-kaitkan dengan ‘sosok’ itu berarti sosok yang dimaksud adalah makhluk halus. Ah, aku memang sering menyudutkan pikiranku sendiri dengan peristiwa yang baru saja kualami. Contohnya saat ini—setelah bertemu Eyang.
“Rit, kamu enggak lagi mikir aneh soal aku, kan?”
“Mikir aneh gimana?”
“Soal omongan Eyang lah, memang menurutmu semua itu enggak aneh?”
“Enggak tuh, mungkin belum waktunya aku mikir aneh.”
Kami saling pandang. Sepertinya Nurita sedang tidak ingin membahasnya lebih jauh lagi. Sebetulnya aku juga tidak terlalu ingin untuk menjelaskan soal perkataan Eyang, yang lebih cenderung seperti teka-teki. Mungkin saja memang ada yang menginginkanku untuk menjadi menantu, pikirku simple.
“Lett, mungkin saja ada yang pengin kamu jadi menantunya, terus orang itu mau ngelamar kamu lewat Eyang gara-gara tau kamu belum cukup umur buat nikah,” tebak Nurita, sambil mencubit lenganku.
“Aku juga baru aja mikirin hal itu, kok. Yah, begitu mungkin lebih baik.” Aku membalas cubitan Nurita, dan berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan perasaan cemas ini darinya, agar ia tidak ikut tertekan.
“Hei ... ngobrolin apaan sih?” tanya Kinky penasaran.
“Muncul dari mana kamu?” tanya Nurita sambil melemparkan bantal pada Kinky yang sedang mematung di ambang pintu kamar.
“Lubang semut dong ….” Kinky tertawa, lalu duduk di sebelah Nurita—memberikan tatapan yang sama seperti teman-teman yang lainnya. Penasaran, tapi ia juga tidak berani menanyakannya langsung kepadaku.
Kami bertiga memang tinggal dalam satu kamar. Jadi tidak masalah jika Kinky masuk begitu saja tanpa permisi. Kamar berukuran 4 × 6 m² ini sudah cukup luas bagi kami kalau hanya untuk tinggal bertiga saja. Atau juga berempat jika termasuk Ploopy—kucing peliharaan Nurita—ikut dihitung.
Menyoal perkataan Eyang, aku tidak ingin memikirkannya lagi, anggap saja angin lalu. Kupikir, Eyang juga tidak ingin membuatku berpikir lebih jauh lagi, apalagi selama ini aku memang dikenal sebagai siswi teladan. Meski prestasiku hanya sebatas juara umum bertahan setiap tahunnya. Lagi pula berpikir terlalu lama bisa membuatku pusing. Jadi, cukup rambut keribo Nurita saja yang bisa membuatku pusing saat harus menyisirnya.
“Kamu enggak mau beresin lemari, Lett?” tanya Kinky sambil membolak-balikkan beberapa pakaiannya di depan lemari. Merapikan beberapa pakaian yang sebenarnya sudah rapi.
“Lagi enggak mood, lagi pula aku baru beres-beres kemarin siang,” jelasku. Kinky mengernyit sekarang, tanpa mengatakan apa pun lagi. Di asrama memang sudah menjadi tradisi membereskan lemari setiap satu minggu sekali. Meskipun, isi lemari masih terlihat rapi.
“Jadi kamu enggak mau nyari tahu soal itu, Lett?” tanya Nurita lagi, setelah suasana hening.
“Iya. Aku males pusing deh, Rit. Iya kan, Kinky yang rajin?” pujiku sekaligus meledek Kinky yang sedang serius membereskan isi lemarinya, yang tetap akan begitu-begitu saja.
“Aku enggak mau tahu deh, lagian enggak akan dikasih tau, kan?” timpalnya sembari melirik Nurita, lalu terkekeh geli.
Akhirnya suasana ‘hening’ yang berlangsung sejak tadi bisa pecah juga. Seperti saat kamu menggoreng telur dadar tetapi malah salah memasukkan bumbu ke dalamnya, bukan mecin melainkan pemanis buatan. Lalu dihidangkan di hadapan calon mertuamu. Suasana yang mulanya sepi dijamin bisa langsung pecah, ambyar seketika.
Aku menatap mata Nurita lekat-lekat. Mungkin aku tidak bisa mengungkapkan perasaan cemasku padanya, tetapi semoga saja tatapanku ini bisa membuatnya mengerti. Karena hanya dia satu-satunya sahabat yang memiliki pengalaman yang tak jauh berbeda dariku.
“Mungkin misteri dari jawaban ini akan terpecahkan suatu saat nanti, Rit. Dan sampai saat itu, tetaplah menjadi sahabatku.” Hanya itu permintaan yang aku katakan pada Nurita sebelum akhirnya kami kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Catatan Khusus: Novel ini masih bisa dipesan di Shopee agar bisa gratis Ongkir. Atau chat ke aku supaya bisa pesan lewat Admin dan mendapat ongkir Rp10.000