Tanganku
menggenggam segumpal nyawa yang kutarik keluar dari dalam jiwa, lalu kuletakkan
di atas kain putih yang baru saja selesai dijahit oleh Ibu. Kemudian, aku
membungkusnya dengan rapi dan mengikatnya menggunakan pita besar dan memasukkannya
ke laci nakas. Segumpal nyawa itu sudah tidak tampak oleh mataku lagi setelah
laci tersebut tertutup.
Aku
melangkah gontai menuju meja belajar, nyaris saja kubuang semua benda yang
terletak di meja. Aku muak melihat semua hal yang berkaitan dengan menulis. Ingin
rasanya kulempar ke luar jendela semua benda
itu: laptop, ponsel, buku, sticky notes,
dan pulpen. Sayangnya tanganku seperti kehabisan tenaga ketika sudah berada
tepat di hadapan benda-benda itu.
“Bagaimana
aku bisa mengembalikan segumpal nyawa itu sekarang?” Baru saja beberapa menit,
tetapi jiwaku sudah terasa kosong.
Aku
memang hanya tahu cara mengeluarkan tapi tidak tahu cara mengembalikannya lagi—mungkin
hanya belum tahu. Padahal aku baru saja menariknya beberapa saat yang lalu. Apakah
aku sudah mulai mati rasa? Apakah usahaku berhasil?
Aku
menepuk dada berulang kali, pelan, kurasakan sesaknya semakin dalam, lalu air
mata tumpah dari peristirahatan sementaranya di ujung pelupuk. “Aku menangis
lagi? Ini sudah yang ke berapa kali?” tanyaku sembari mengelap pipi yang basah.
Jiwaku
semakin terasa hampa setelah ditinggal segumpal nyawa itu keluar. Aku
memutuskan meninggalkan kamar untuk mencari udara segar, barangkali udara di kamar
memang berisi beban yang membuat hidup terasa suntuk. Tidak tahu pasti, ini
hanya pemikiran konyolku saja.
Lagi-lagi
pikiranku terbayang ekspresi orang-orang yang bahkan tidak pernah kulihat
wajahnya. Imajinasiku berhasil menggambarkan raut wajah mereka dengan sempurna,
bahkan bagaimana mereka menggelegarkan tawa, aku melihatnya dengan jelas. Mereka,
salah satunya yang mengenakan pakaian berwarna merah marun, tertawa cekikikan
seperti kuntilanak dan menepuk sedikit agak kuat pada bahu temannya. Dia berkata,
“Cewek bernama Gulali itu lugu atau memang bodoh?”
Lantas
teman yang satunya lagi, yang mengenakan kaos oblong warna ungu mencolok
menimpali, “Mungkin dia memang tidak tahu, jangan diketawain terus-terusan.”
Aku
tersenyum masam ketika membayangkan dia mengatakan hal itu. Apakah dia sedang
membelaku? Begitulah yang kupertanyakan dalam pikiran, tetapi hal tersebut
terpatahkan. Dia kembali melanjutkan perkataannya tanpa ragu-ragu.
“Maksudku,
jangan cuma diketawain, tapi tegur aja di kolom komentar siarannya, biar
sekalian kehabisan napas.”
Aku
meremas ujung pakaian, lalu kembali menepuk-nepuk dada sambil mengembuskan
napas melalui mulut. “Sakitnya, Tuhan! Kenapa harus begini?” Aku bertanya pada
angin karena tahu Tuhan tidak akan langsung memberiku kemampuan untuk menelaah
jawaban yang Dia berikan.
Kini
kakiku terasa berat untuk diangkat, maka kuputuskan untuk bergeming sejenak di
bawah pohon akasia. Kutatap daun-daun yang berlubang dimakan ulat. Jika saja
dedaunan ini bisa berbicara, apakah dia akan mengeluh karena kepunyaannya
hampir habis digerogoti hewan bertubuh gemuk itu? Atau dia akan berbicara
dengan gembira karena telah berguna untuk sesama ciptaan Tuhan?
Mendadak
isi pikiranku menjadi absurd, bahkan
benang kusut saja tidak seburuk pikiranku. Mungkin ini akibatnya saat berjauhan
dari segumpal nyawa yang telah kukeluarkan. Rasanya tubuhku seperti kehilangan
fungsinya.
Aku
beranjak dari dekapan pohon akasia tanpa mendengar cuitan dedaunan yang
berlubang, ya, aku memang tidak akan pernah mendengar mereka berbicara. Karena
itulah kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan daripada kembali ke rumah
sebelum menemukan titik terang.
Sebenarnya
aku sendiri tidak tahu mau pergi ke mana. Tetapi, pernah kudengar dari omongan
tetangga yang rajin menggunjing saat membeli sayuran di warung Mang Udin, mereka
mengeluhkan kebersihan taman di ujung kompleks. Katanya, taman itu sudah banyak
sampah yang berserakan padahal baru saja dibuka dua minggu yang lalu. Miris!
Tapi bukankah lebih miris diriku ini yang bahkan tidak tahu bahwa di kompleks
ada taman? Aku terlalu sibuk mengurus duniaku, tapi aku pula yang sekarang
tercampakkan.
Aku
kembali berjalan dan melupakan gunjingan tetangga yang pernah juga membahas
status sarjanaku. Mereka cuma bilang kalau semestinya seorang sarjana itu punya
pekerjaan yang mapan, gaji bulanan berjuta-juta, dan punya pacar yang
berwibawa—dalam hal ini ber-wiii-bawa
mobil, wiii-bawa uang banyak, wiii-bawa oleh-oleh mahal—mereka menekan
pada kata ‘wi’ dari ‘wibawa’ hanya untuk mengejek.
“Hai, Cewek,” tegur seorang lelaki yang baru
saja berjalan sejajar denganku.
Aku
menoleh dan menatapnya tanpa membalas sapaan darinya. Dia itu Kenan, aku sudah
mengenalnya sejak SD, tapi kami tidak pernah dekat karena dia selalu
mengejekku. Katanya, aku ini dekil, pendek, pesek, dan berkulit cokelat gelap. Namun,
aku selalu tidak peduli kepada hinaan yang lebih sering dijadikan banyolan oleh
teman-teman.
“Gulali,
kan? Atau aku sudah salah menduga?”
Aku
menghentikan langkah. “Tau dari mana kalau aku pakai nama Gulali?”
“Aku
stalking media sosialmu. Terus nggak
sengaja nemu tulisan Gulali di pojok kanan gambar yang kamu edit,” jawabannya jujur.
“Tapi aku nggak macem-macem, kok. Cuma cari tahu aja Gulali itu siapa dan
ngapain kata itu ada di posting-an
kamu.”
“Sekarang
kamu udah tahu, kan? Jadi mau apa lagi?”
Kenan
beranjak dan berdiri tepat di depanku. “Nggak usah pura-pura galak. Aku tahu
apa yang lagi kamu pikirkan, apa yang lagi jadi bergolakan batinmu.”
“Nggak
usah sok tahu!” Aku menjawab dengan tegas, lalu menghindarinya dan berjalan menuju
taman seperti rencana awal.
Kenan
tidak banyak bicara, dia hanya diam, tapi aku tahu lelaki berkumis tipis itu
mengikuti ke taman. Saat seperti ini rasanya aku ingin kembali menumpahkan air
mata. Dadaku terasa sesak, terlebih karena telinga kiriku berdenging. Kata
orang, bila telinga kiri yang berdenging, itu artinya ada orang lain yang
sedang menggibahi kita. Aku takut, aku tidak berani menunjukkan diri lagi.
Rasanya, aku ingin lenyap dari dunia ini.
*****
Ini
tidak terlalu buruk berada di taman pada jam menjelang siang. Dua jam lebih
berada di taman ini, kami tidak saling bicara. Kenan tidak melakukan banyak hal
selain menarik rumput liar yang terjangkau oleh tangannya, lalu memotongnya dan
melemparkan ke udara. Begitu seterusnya sampai tangannya terasa kebas, mungkin.
“Kamu malu? Atau nggak menerima kesalahan?”
Tiba-tiba Kenan bertanya sambil menyenggol lenganku.
“Apa
maksudmu?”
“Kamu
begini karena dua minggu yang lalu ada inseden salah sebut nama dalam bahasa
Inggris, kan?”
Aku
menunduk karena merasa semakin tidak berguna.
“Aku
sudah menelusuri platform itu, bahkan
dengan telaten aku baca satu per satu komentar mereka di posting-an terakhirmu. Aku bahkan sampai tanya Kania. Sepertinya dia
teman dekatmu di sana, dan dia menceritakan semuanya.”
Aku
mengangguk, lalu menunduk. “Apa manusia itu gak boleh melakukan kesalahan? Aku sadar
kalau memang salah. Aku sudah mengakuinya dan meminta maaf kepada mereka, kepada
pendengar rekaman siaran. Tapi apa yang mereka lakukan? Mereka menghinaku,
mengatakan bahwa aku ini memalukan, dan kata mereka aku itu bodoh. Mereka
menjadikanku bahan tertawaan. Apa sebuah kesalahan itu layak menjadi lelucon?
“Hanya
karena aku salah menyebutkan nama Michael dalam bahasa Inggris, lalu sekarang
aku dihina habis-habisan seolah-olah selama ini aku nggak pernah melakukan
kebaikan.”
“Nggak
semua orang mengerti apa yang kamu mau. Dan nggak semua keinginan bisa terwujud
segampang yang kamu bayangkan. Manusia nggak ada yang sempurna, Key,” sahutnya.
“Keyra yang aku kenal nggak mudah down begini.
Aku yakin kamu pasti bisa membuktikan pada mereka siapa dirimu sebenarnya. Gulali
itu manis, dan kamu harus membuat hidupmu terasa manis tanpa teman-teman yang
merugikan.”
“Terima
kasih, Kenan. Aku akan memikirkannya lagi.” Aku menoleh ke arah Kenan, lalu
beranjak meninggalkannya di bangku taman.
Aku
kembali ke rumah dengan perasaan yang masih sama, tidak ada ketenangan, tidak
pula dengan gambaran jalan keluar. Akan tetapi aku punya sedikit keberanian
untuk melalui semua ini.
Aku memang merasa tak layak berada di antara
mereka—yang cerdas, yang bertalenta, dan yang berprestasi. Aku hanya pemula
yang langsung menyodorkan diri untuk menjadi bulan-bulanan mereka, supaya
mereka betah berlama-lama ngobrol dengan teman-teman lainnya. Tetapi apakah
sedikit keberanianku ini tidak akan membuat mereka menguliti sisa-sisa keteguhan
yang kumiliki?
Padahal,
dua minggu yang lalu aku hanya berusaha keluar dari zona nyaman yang kata
banyak orang sih memang penuh tantangan.
Aku mengalahkan rasa malu demi menggunakan suara cempreng ini untuk mengisi
program siara di platfrom Z—tempat
menulis terbaru yang sedang viral. Tetapi satu kesalahanku ternyata tidak
termaafkan oleh mereka. Aku merasa hancur ketika mereka mulai menelanjangi kesalahanku
hingga akhirnya aku tidak berani membuka platform
menulis itu lagi.
Ternyata
yang paling keras di dunia ini bukanlah kota-kota padat penduduk dengan
bangunan-bangunan besar yang menjulang tinggi—yang menjadi tempat perantauan,
melainkan mulut orang-orang yang menganggap dirinya berkuasa, yang menjadikan
manusia lainnya sebagai daging yang siap disantap dan dimuntahkan lagi bila cita
rasanya tak sedap di lidah mereka.
*****
Malam
ini aku kembali membuka laci nakas, ingin mengambil segumpal nyawa yang baru
tadi pagi kuletakkan di sana. Aku merasa kosong dan tidak tahu hendak melakukan
apa. Yang kulakukan selama lebih dari satu jam hanya memandang kain putih yang
terikat pita di dalam laci.
Kain
putih ini mengingatkanku kepada Ibu. Beliau sudah berpesan agar aku menjaganya
agar tetap bersih sehingga suatu saat nanti aku dapat menggunakannya sebagai
mahkota. Namun, aku baru boleh menggunakannya bila mimpiku sudah tercapai,
setelah pendidikanku juga terselesaikan.
Sayangnya
kini aku telah menggunakan kain tersebut, untuk meletakkan segumpal nyawa yang
berharga dalam kehidupanku. Nyawa yang telah kumiliki sejak duduk di bangku
sekolah dasar.
Ketika
teman-teman asyik bermain, aku hanya sibuk menata sedikit demi sedikit nyawa
itu. Aku menganggapnya mustahil terkumpul dan bisa kugenggam seutuhnya. Hingga
pada akhirnya Tuhan memberiku jalan tepat di usia yang sudah memasuki kepala
dua. Aku menemukan rumah untuk menyimpan dan mengembangkan nyawa itu. Akan
tetapi insiden memalukan itu malah menjadi kerikil yang menendangku keluar dari
peredaran mereka, yang sudah hebat dan berbakat. Lalu, haruskah aku membuang
segumpal nyawa yang baru saja kusimpan dalam laci ini?
“Key,
buka jendelanya.” Suara ketukan di jendela terdengar bersamaan dengan suara
Kenan. Aku buru-buru menutup laci, lalu membuka jendela dengan pelan.
“Ngapain
malam-malam kamu ke sini kayak maling?” tanyaku bisik-bisik.
Kenan
hanya tertawa kecil sambil menunjukkan ponselnya kepadaku. “Aku udah buatin
blog buat kamu. Kamu nulis di sini aja buat batu loncatan,” ucapnya dengan
binar terang di matanya.
“Serius
kamu bikinin aku blog?”
Kenan
mengangguk, lalu melongok ke kamar. “Nggak mau di suruh masuk?”
“Ini
sudah malam, Ken. Lagian ngapain nggak nunggu besok aja?”
“Aku
udah nggak sabar pengin liat kamu ceria dan semangat lagi. Inget, Key, kamu itu
punya kelebihan yang tersembunyi, yang tidak semua orang miliki. Aku tahu, kamu
punya semangat yang tumpah-tumpah. Jadi, ini adalah hadiah buatmu supaya kamu
bisa berdiri tegak lagi,” jelasnya sembari tersenyum.
Aku
terharu mendengar perkataan Kenan. Kemudian, aku meraih ponsel yang dia berikan
untuk melihat bagaimana blog yang dia buatkan. Jujur saja, ini adalah kali
pertama aku menyentuh dunia literasi. Mata hati dan pikiranku memang masih
buta, tapi bukan berarti aku tidak mau melek
terhadap perkembangan zaman. Sayangnya, lagi-lagi aku masih tidak mampu
beranjak dengan cepat saat ingat kesalahan itu.
“Terima
kasih, Ken, besok kita obrolkan lagi. Siapin tenaga untuk ngajarin aku, ya?”
Kenan
mengangguk sembari berkata, “Siap, akan aku pastikan kamu bisa mengalahkan
mereka. Kita lihat siapa yang paling kuat bertahan di dunia literasi ini, kamu
atau mereka.”
Setelah
mengatakan itu Kenan langsung izin bertolak untuk pulang. Aku pun
mempersilakannya, lalu kembali kututup jendela kamar dengan hati-hati.
Hatiku
sungguh seperti tersiram air hangat hingga desirnya terasa ke seluruh tubuh.
Air mataku tumpah seketika. Tuhan memberiku jalan yang baru, yang tidak
kumengerti, tapi bisa kujelajahi dengan perlahan.
*****
Sebelum
tidur, aku memberanikan diri untuk membuka
platform Z untuk mencari tahu apakah mereka masih mencaci makiku atau
tidak. Dengan sedikit keberanian dan ketenangan yang sudah mulai terkumpul
sejak kedatangan Kenan, aku pun membuka kolom komentar pada posting-an cerpen terakhir yang sempat
di-upload sebelum menghilang tanpa
jejak.
@Kania:
Gulali nggak muncul dua minggu, woy! Ini gara-gara komentar kalian sih!
@Hasya:
Bukan salah yang komentar dong, salah sendiri cuma ngucapin nama Michael aja
nggak bisa, lolanya nggak ketulungan, cih!
@Dinar:
Dia hengkang dari dunia literasi juga nggak masalah buat aku. Nggak ada urusan,
di dunia ini tuh semua serba keras. Mana ada yang bisa sejalan dengan
pikirannya.
@Kania:
Apa pun alasan kalian, itu nggak dibenarkan. Gulali juga punya perasaan, dia
juga bisa down.
Cukup!
Aku tidak berani lagi membaca kelanjutan komentar-komentar mereka. Aku menutup
kembali platform Z itu, lalu kembali
menangis. “Haruskah aku menangis lagi?” tanyaku pada diri sendiri.
Sungguh,
kesalahanku memang sepele sekali. Tapi mengapa mereka sampai membenciku hingga
separah ini? Apa menjadi pemula itu selalu ditempa dengan hal semacam ini?
Aku
merasa cemas dan tidak layak untuk kembali menatap dunia. Tapi aku punya
segumpal nyawa yang setiap detiknya semakin melemah. Apabila aku tidak segera
menyelamatkannya dan bangkit dari keterpurukan ini, mungkin dia bisa lenyap,
dan aku hanya bisa memeluk kenangan.
Aku
merasa hampir kehabisan napas bila mengingat wajah-wajah itu menertawakanku.
Bagaimana bisa mereka yang sudah memiliki kemampuan dan perstasi yang lebih
banyak dariku malah melakukan hal ini? Mereka sama sekali tidak mencerminkan
sikap yang patut dicontoh. Sayangnya sikap yang seperti itu malah banyak
digemari dan punya banyak pendukung. Semestinya aku tidak merasa rendah seperti
ini, kan, Tuhan? Mungkin yang Kenan katakan memang ada benarnya, aku harus bisa
membuktikan kepada mereka bahwa bertahan di dunia literasi ini bukan hal yang
sulit. Tapi, bagaimana caranya agar aku bisa memberikan bukti itu? Sekarang
saja aku tidak tahu mau melakukan apa ….
***
Tak
seperti biasanya, pagi ini aku lebih bersemangat karena ingat janji Kenan untuk
mengajariku menggunakan blog. Aku melangkah keluar kamar, menemui Ibu yang
masih menata sarapan dan Ayah yang tengah membaca koran. Kemudian, kami
menyelesaikan sarapan tanpa membicarakan apa pun, seperti biasanya saja; makan,
lalu sibuk masing-masing. Keluargaku ini ‘dingin’ tapi tetap peduli bila salah
satunya tampak tidak baik-baik saja. Karena itulah aku berusaha terlihat tegar
di hadapan mereka.
“Bu,
Keyra mau ke taman dulu, ya?” pamitku.
“Hati-hati,
Key,” pesannya, lalu aku pun mengangguk.
Aku
berjalan pelan sambil menahan debaran dalam dada. Ada rasa yang aneh di sana
dan kurasa ini adalah kali pertama kumiliki desir yang berbeda ketika mengingat
Kenan.
“Key,
ngelamunin apa?”
Aku
terperanjat ketika bahuku disentuh seseorang. “Eh, nggak mikirin apa pun, kok,”
jawabku malu-malu.
“Sudah
aktifin media sosial lagi belum? Kamu nggak buka WhatsApp, Instagram, dan
Facebook, ya? Atau nama akunnya diganti?”
Aku
tersenyum masam. “Aku ganti nama akun dan nggak buka media sosial selama dua
minggu. Nggak berani, masih malu. Takut mereka juga nyari media sosialku dan
mencaci maki di sana, bisa tamat aku.”
“Dasar!
Kamu itu sulit juga dibuat sendiri.”
Aku
hanya diam karena tidak mengerti maksud Kenan. Kami berjalan ke taman sambil ngobrol yang ringan-ringan saja, temanya
tidak jauh dari literasi juga.
“Kamu
itu pernah mikir nggak sih kalau yang mengalami hal seperti ini bukan cuma dirimu
aja?”
Aku
menggeleng. “Mana aku mikirin itu, mikir diriku sendiri aja udah berat.”
“Key,
dengerin aku …,” pintanya sambil menarik telapak tanganku. “Hampir semua orang
pernah mengalami kegagalan, Key. Bahkan banyak di antara mereka yang tersandung
saat berusaha mewujudkan impian dan tujuan hidupnya.”
“Lalu
apa hubungannya sama aku?” tanyaku polos.
“Dasar
anak kecil!” ledek Kenan sambil menarik hidungku.
“Sakit,
Ken …,” keluhku. “Jadi apa lanjutannya?”
Kenan
tidak langsung menjawab, dia hanya menggerakkan bibirnya ke atas. Lengkungan
tipis itu begitu memesona.
“Maksudku
… apa yang kamu rasakan ini mungkin saja pernah dirasakan oleh orang lain. Hanya
saja kita tidak tahu siapa saja mereka itu. Aku yakin kok, Key, orang-orang
sukses di luar sana itu juga pernah mengalami yang namanya kegagalan,
keterpurukan, merasa hampir kehabisan cara untuk mencapai impian, dan berada di
titik terendah.
“Bedanya,
mereka itu sigap dan siap menerima serta menjalaninya. Nggak kayak kamu yang
malah memanjakan keterpurukan. Baru juga kena nyinyiran gitu, eh malah nggak
mau bangkit lagi. Haduh, Key, mau dikemanain impian masa kecilmu itu?”
Aku
bungkam mendengar omongan Kenan. Apa yang dia katakan banyak benarnya. “Ken,
terus gimana?” tanyaku lagi.
Kamu
sudah sampai di taman dan memilih untuk duduk di bawah pohon palem sambil
meluruskan kaki.
Kenan
menatapku sambil mengangkat sebelah alisnya. “Kamu mungkin lupa satu hal, Key. Orang-orang
yang sekarang sudah sukses itu tidak semua memiliki perjalanan yang mulus,
bahkan banyak dari mereka itu berasal dari orang-orang biasa. Selama ini kamu
hanya melihat mereka yang sudah sukses, tapi kamu tidak pernah menggali
bagaimana langkah mereka saat melakukan proses.
“Melihat
kesuksesan orang itu memang gampang, Key. Kamu bahkan menjadikan mereka sebagai
idola, menganggap mereka itu sempurna. Tapi kamu sendiri nggak pernah tahu dan
mencari tahu bagaimana saja hambatan yang mereka miliki untuk mencapai tangga
tertinggi seperti saat ini. Iya, kan?”
Aku
benar-benar kehabisan kata-kata mendengar semua yang Kenan katakan. Dia sungguh
menyiapkan banyak amunisi untuk mencuci otakku yang hampir kehabisan daya ini.
“Kamu
bener, Ken. Aku nggak pernah mikir ke situ. Aku cuma tahu mereka itu sukses dan
hebat. Dan aku lupa kalau mereka juga melalui banyak proses untuk menjadi
sekokoh sekarang.”
Kenan
tertawa pelan. “Gitu dong, coba aja sadar dari dua minggu yang lalu, pasti
sekarang kamu udah ada perkembangan.”
“Semestinya
sih gitu. Namanya aja malu, aku itu insecure
woy!” bentakku sambil tertawa garing.
“Ayolah,
Gulali itu nggak selemah ini. Inget, ya, mimpimu itu cuma bakal jadi uap kalau
kamu nggak berusaha mewujudkannya. Dia hanya akan menjadi tapak-tapak luka dan
kenangan tanpa pernah mendapatkan perlakuan istimewa dari pemiliknya. Apa kamu
tega semua impianmu itu menangis di langit
gara-gara kamu malu sama kesalahanmu sendiri?”
Tuntas
sudah aku diberondong wejangan oleh Kenan. Bagaimanapun juga semua yang dia
katakan selalu tepat dan berhasil menamparku. “Seharusnya—”
“Seharusnya
kamu berusaha mewujudkan impian itu, jadilah penulis seperti yang kamu
harapkan. Jadilah apa adanya dirimu, akui kesalahanmu, tapi jadikan hal itu
sebagai pelajaran. Kalau kamu merasa bodoh, ya perbanyak saja belajar. Kalau
kamu sudah pandai, jangan sampai lengah. Terus berjalan, Key, karena Tuhan
sudah menyiapkan banyak kejutan di depan sana.
“Maaf
aku banyak ceramah sepagi ini. Aku sudah capek cuma jadi pengamat tanpa
melakukan apa pun. Selama ini aku bukan nggak peduli, tapi aku pengin liat kamu
berdiri sendiri. Tapi sampai detik ini aku nggak melihat kamu melakukan itu.
Jadi terpaksa aku melakukan semua ini. Termasuk bikin blog untukmu.”
Kenan
kembali menyodorkan ponselnya. Perlahan-lahan dia mengajariku menggunakan situs
tersebut. Blog itu diberi nama seperti yang kugunakan, Gulali. Dan aku membaca
satu puisi yang sudah dia upload di
sana, mungkin untuk mengawali.
“Mimpi Tak Semanis Gulali”
Teruntuk mimpi yang terluka
sebelum mekar
Semestinya ada penangkal yang
mampu mengobati
Hingga nyawa yang tersisa tidak
semakin terkuliti
Sebaliknya, merebaklah aroma
wangi yang tak tertakar
Jadilah pemikat bagi tiap-tiap
impian yang terluka
Menegakkan kaki-kaki yang patah
oleh keputusasaan
Jadilah wangi yang
menghangatkan hati
Suatu saat nanti mimpi yang
dianggap menyimpan kepahitan
Akan lebih legit daripada
manisnya Gulali
Kenan Pramugya, 11 februari
2021
Lagi-lagi
aku meneteskan air mata. Kenan hanya tersenyum sambil merengkuh bahuku. Dia
mengangguk berulang kali, lalu mengusap tetes air mata di pipi.
“Jangan
pernah menghabisi nyawa yang sudah kamu kumpulkan sejak lama. Kamu layak
memperjuangkannya, peluklah kembali nyawa itu, dan bawalah dia sampai kamu
menjadi sosok yang banyak dikagumi dan menginspirasi.”
Aku
semakin terguguk, lalu kurengkuh tubuhnya. “Terima kasih, Ken. Aku tahu apa
yang harus kulakukan.”
*****
Suasana
hatiku sudah lebih baik daripada sebelumnya. Setelah pulang dari taman, aku
kembali membuka laci nakas dan mengeluarkan kain putih yang berisi segumpal
nyawa yang kukeluarkan dari jiwa.
Aku
menyentuhnya perlahan sambil meneteskan air mata.
“Oh,
maafkan aku yang sudah meninggalkan dan bermaskud untuk membuangmu. Semestinya
aku memperjuangkanmu dan tidak melakukan semua ini. Bagaimanapun juga akulah
yang memilikimu, yang membangun dan memupukmu sedari kecil. Dan kamu tidak akan
pernah tumbuh menjadi hal yang berguna jika aku tidak mau memperjuangkanmu.”
Aku
tersenyum samar, lalu kudekap kain putih itu. Aku memejamkan mata untuk
menyerap kembali segumpal nyawa yang pernah kuletakkan di dalamnya. Bayangan
bibir merah Ibu yang tersenyum semakin menambah keberanianku. Kain ini menjadi
salah satu keinginan Ibu, beliau mau aku menggunakannya di atas kepala suatu
saat nanti. Sebagai mahkota, setelah aku berhasil mencapai semua impian yang
kuinginkan.
Aku
sudah kembali mengambil segumpal nyawa yang kutelantarkan. Kini aku kembali
memperjuangkanya agar jiwaku tidak terasa hampa. Aku sadar, nyawa yang sempat
kukeluarkan ini adalah keinginan terbesar dalam hidupku. Aku ingin menjadi
seperti mereka, yang kukagumi dan menginspirasi. Kuharap nyawa ini tidak akan
pernah redup dalam jiwaku, sebab aku sadar bila tanpanya di hatiku, langkah ini
terasa sumbang, dan aku seperti kehilangan harapan untuk menjadi Gulali yang
kucintai.
Meskipun
mimpi tak semanis Gulali, namaku, tapi aku yakin mimpi itu akan lebih legit
daripada yang kubayangkan selama ini.
Keyra Kenan kulihat saja banyak pohon cemara, hehe.. kiri kanan maksudku 🤣
BalasHapusSeperti iklan mentos aja baiknya, ketika salah dibikin asik aja sekalian, Mikel Mikel, Michel hihi..
Btw itu nyawanya dibungkus jilbab kah wkwk, tapi skrg sudah sukses kan jadi Master of Literation, widih 🤣
Sungkem guru.. untung di taman ga ada anak mata pekat, kalau ada bahaya bisa2 gulali dimakannya, hehe..